“Dinda, bangun sayang. Kamu harus berangkat sekolah.” Mama membangunkan Dinda sambil mengelus-elus kening anak tunggalnya itu.
“Iya, Ma.” jawab Dinda pelan.
“Ayo, buruan mandi sana, ganti baju dan sarapan. Mama tunggu di meja makan, ya sayang.” kata Mama sambil berlalu meninggalkan kamar Dinda.
Dinda pun bangkit dari tempat tidur, merapikannya dan bergegas ke kamar mandi. Tak lama kemudian setelah berganti seragam putih merah dan berdandan sedikit, Dinda segera mengambil tas sekolahnya yang berwarna merah jambu dan bermotif bunga-bunga lalu menuju ke ruang makan.
Sejenak Dinda merasa agak aneh. “Kok Mama tidak mengucapkan Selamat Ulang Tahun kepadaku tadi, ya?” gumamnya dalam hati. “Ah, mungkin Mama lupa.” lanjutnya.
“Ayo sayang, kamu sarapan dulu sebentar.” kata Mama setelah mendapati Dinda muncul dengan wajah cantik lengkap dengan pita rambutnya yang baru.
“Iya, Ma.” jawab Dinda sambil mulai mengambil makanan. Saat makanpun Dinda masih merasa heran dan aneh. “Kok Mama tidak mengucapkan ya?” tanyanya sendiri dalam hati. “Ah, tidak apa-apa. Mudah-mudahan Papa tidak lupa.” harapnya.
“Tin, tin...” suara klakson mobil Papa berbunyi.
“Dinda, itu Papa kamu sudah menunggu di mobil.” Mama berseru. Mereka berdua bergegas menuju pintu depan.
“Ma, Dinda berangkat ke sekolah dulu ya.” kata Dinda sambil mencium tangan Mama.
“Iya sayang, kamu jangan nakal ya.”
“Ma, kami berangkat dulu ya.” pamit Papa sambil mencium pipi Mama.
“Iya, Pa. Hati-hati ya.” Mama melambaikan tangannya.
Saat di mobil, Dinda juga menunggu-nunggu ucapan Selamat Ulang Tahun dari Papanya tetapi tidak ada, bahkan sampai mereka tiba di gerbang sekolah.
“Dinda, km belajar yang rajin ya. Jangan nakal ya, sayang.” pesan Papa sebelum melanjutkan perjalanan ke kantor.
“Iya, Pa.” sahut Dinda sambil mencium tangan Papa.
Dinda menuju ke kelas dengan langkah semangat. Dia berharap mungkin teman-temannya akan mengucapkan Selamat Ulang Tahun buatnya. Sesampai di kelas, teman-temannya pun bersikap seperti biasanya, seperti tidak terjadi apa-apa. Satu demi satu, jam pelajaran berlalu.
Tiba saatnya Dinda pulang sekolah. Saat perjalanan pulang, ia hampir tidak menghiraukan Mba Siti yang biasa menjemputnya mengajak bercakap-cakap.
“Non Dinda kok aneh ya hari ini?” tanya Mba Siti.
“Aneh bagaimana, Mba?”
“Tidak seperti biasanya Non Dinda diam seperti ini. Biasanya Non Dinda selalu ceria.”
“Ah, biasa aja kok Mba.” Dinda menepis.
Setelah tiba di rumah, Dinda langsung masuk ke kamar dan memeluk boneka kesayangannya. Sambil mengelus-elus kepala si Kitty, sebutan untuk boneka kucingnya, Dinda bergumam dalam hati, “Kok hari ini tidak ada satupun orang yang mengucapkan Selamat Ulang Tahun kepadaku, ya? Mama, Papa, teman-teman di sekolah juga tidak.”
“Non Dinda, makan siangnya sudah siap.” teriakan Mba Siti dari luar kamar membuyarkan lamunan Dinda.
“Iya, Mba. Sebentar lagi saya ke ruang makan”
“Kata Nyonya, Non Dinda hari ini jangan ke mana-mana dulu.”
“Mama ke mana, Mba?” tanya Dinda karena biasanya di siang hari mamanya selalu ada di rumah.”
“Wah, saya kurang tahu Non. Tadi Nyonya Cuma bilang, kalau Nyonya mau ke luar sebentar.” lanjut Mba Siti sambil berlalu meninggalkan Dinda.
Perasaan Dinda semakin kacau, sedih bercampur kesal. Ingin rasanya ia menangis. Tapi ia ingat pesan neneknya sebelum meninggal. “Kalau sudah besar tidak boleh menangis, apalagi sekarang sudah mau SMP.” kenang Dinda.
Karena tidak tahu apa yang harus ia lakukan untuk menenangkan pikirannya, Dinda diam-diam pergi ke luar rumah. Ia sengaja tidak berpamitan pada Mba Siti. Dengan langkah gontai ia berlalu meninggalkan rumah. Ia terus berjalan menyusuri jalanan komplek perumahan tanpa tujuan yang jelas. Tak terasa, Dinda sampai di ujung jalan perumahan, berbatasan dengan perkampungan. Saat itu hari mulai sore dan Dinda mulai merasa letih. Ia lalu duduk termenung di sebuah kursi taman. Tak lama kemudian lewatlah seorang penjual bakso keliling.
“Bakso... bakso!” teriak si penjual dengan suara sendok yang ia adukan dengan mangkuk. “Bakso, Neng?” tanyanya kepada Dinda.
Dinda tak menjawab apa-apa, ia hanya memandangi gerobak yang berisi bakso sambil mengelus perutnya yang terasa lapar karena belum diisi makanan sejak tadi siang.
“Eneng mau beli bakso?” penjual bakso kembali bertanya.
Dinda hanya menggelengkan kepala dan menunduk. Tak kuasa ia menahan air matanya yang mulai menetes. Menyaksikan hal itu, penjual bakso keheranan. “Kok malah nangis, Neng? Eneng tidak apa-apa khan?”
Dinda masih menunduk diam. Karena iba, penjual bakso duduk di samping Dinda sambil mengusap kepalanya dan bertanya, “Eneng mengapa menangis?”
Dinda masih saja terdiam. Si penjual bakso menghela nafas panjang. “Neng, namamu siapa? Kalau melihat anak seusia kamu, saya teringat pada anak saya yang sudah pergi.”
Dinda mulai terberesit dan mengangkat kepalanya. Ia memandangi wajah penjual bakso yang mulai bercerita.
“Dulu anak saya seusia kamu, dia meninggal karena sakit keras. Saya menyesal tidak mampu membawanya berobat ke dokter. Kamu lihat sendiri, saya hanya penjual bakso.”
Dinda terkesima dan bertanya, “Bapak sayang tidak pada anak Bapak itu?”
“Tentu saja, saya sangat menyayangi dia. Di dunia ini, tidak ada orang tua yang tidak menyayangi anaknya. Oh ya, namamu siapa?”
“Namaku Dinda”
“Mengapa kau melamun sendirian di sini?”
“Orang-tuaku sudah tidak sayang lagi padaku.”
“Mengapa kamu berkata demikian?”
“Hari ini adalah hari ulang tahunku. Seharusnya aku mendapatkan ucapan dan kado istimewa dari mereka. Tapi sepertinya sejak tadi pagi mereka melupakan hal itu.”
“O, jadi itu masalahnya.” sahut penjual bakso sambil beranjak dari tempat duduk dan menyiapkan semangkuk bakso.
“Kalo begitu, ini kado dari Bapak untukmu, Dinda.” lanjutnya seraya membawa semangkuk bakso yang hangat dan lezat.
Dinda kaget sekaligus merasa senang.
“Ayo, kamu jangan malu-malu. Bakso ini Bapak sengaja hadiahkan untukmu.”
Walau masih agak sungkan, Dinda mulai mencicipi dan langsung menghabiskan semangkuk bakso itu.
“Terima kasih ya, Pak.” ucap Dinda saat mengembalikan mangkuk.
“Iya, sama-sama. Ya sudah, sekarang hari sudah sore, kamu harus pulang.” jawab penjual bakso.
“Pak, saya boleh bertanya pada Bapak?” tanya Dinda sebelum pergi.
“Tentu saja boleh.”
“Mengapa Bapak baik sekali padaku padahal kita baru bertemu, sedangkan orang-tuaku saja yang sejak kecil bersamaku tidak sebaik Bapak?”
“Dinda, kamu tidak seharusnya berkata seperti itu. Jika kamu bandingkan kebaikan Bapak padamu dengan orang-tuamu, tentu saja Bapak tidak sebanding dengan mereka.”
Dinda hanya memandangi bapak penjual bakso.
“Rumahmu di mana? Bapak antar pulang, ya?”
Dinda mengangguk lalu menunjuk, “Di sebelah sana.”
Di tengah perjalanan, bapak penjual bakso menasihati Dinda. “Dinda, kamu baru saja kenal dengan bapak, hanya karena bapak memberimu semangkuk bakso kamu bisa mengatakan bahwa bapak orang yang baik. Tetapi tidakkah kamu sadari, orang-tuamu yang melahirkanmu, membesarkanmu, memberimu makanan dan pakaian sejak kecil sampai saat ini dan menyekolahkanmu, mereka sangat menyayangimu. Jangan hanya karena mereka lupa mengucapkan Selamat Ulang Tahun dan lupa memberimu kado, kamu sudah menilai bahwa mereka tidak sayang padamu.”
Dinda hanya diam. Ia sadar, semua yang diucapkan oleh bapak tersebut benar. “Maafkan Dinda ya, Pak.” Dinda berkata pelan.
“Kamu tidak perlu minta maaf pada Bapak. Sana, hampiri orang-tuamu yang sudah menunggumu.”
“Terima kasih banyak ya, Pak. Dinda masuk dulu.” pamit Dinda. Dinda setengah berlari masuk ke halaman rumah.
Saat itu matahari mulai bersembunyi dan bulan mulai menampakkan wajahnya. Tiba di depan pintu, Dinda disambut oleh kejutan dari Mama, Papa dan semua teman-teman sekolah Dinda.
“Selamat Ulang Tahun, Dinda!” semua berseru.
“Dinda, kamu dari mana saja sayang? Mama, Papa, semua mencemaskanmu.” Mama berbisik sambil memeluk Dinda.
“Iya sayang, Papa tadi sudah mencarimu di sekitar komplek dan bertanya pada teman-temanmu.” tambah Papa.
“Maafkan Dinda ya, Ma, Pa. Dinda sudah berburuk sangka pada Mama dan Papa. Dinda mengira Mama, Papa dan semuanya melupakan ulang tahun Dinda.” kata Dinda pelan.
“Mama dan Papa sengaja membuat pesta kejutan ini untukmu, sayang. Mama tadi siang pergi keluar karena menyiapkan semua ini.” sahut Mama.
“Dan Papa yang berpesan ke wali kelasmu untuk meminta teman-temanmu supaya berpura-pura lupa akan ulang tahunmu.” tambah Papa. “Oya, siapa yang mengantarmu pulang?” tanya Papa.
“Itu, bapak penjula bakso itu” jawab Dinda sambil menunjuk keluar.
Papa menuju keluar halaman dan menghampiri si penjual bakso. “Bapak, terima kasih banyak telah mengantar Dinda pulang. Sebagai rasa terima kasih kami, bagaimana kalau saya mengundang bapak ikut merayakan ulang tahun Dinda, sekalian saya borong baksonya untuk jamuan pesta.”
“Wah, saya merasa tidak enak Pak.” jawab penjual bakso.
“Sudahlah, Bapak tidak usah sungkan. Saya minta Bapak tidak menolak undangan saya ini.”
“Kalau demikian, baiklah Pak.”
Demikianlah, malam itu menjadi malam ulang tahun yang paling mengesankan bagi Dinda yang tidak akan dilupakan sepanjang hidupnya.
***
0 comments:
Posting Komentar